PELANGGAN EMOSI – JANGAN LAKUKAN 5 HAL INI
Saya teringat sebuah kejadian yang menimpa tetangga saya. Itu terjadi sekian tahun yang lalu,
ketika saya masih kuliah di LN. Tetangga saya ini mengalami kebakaran kecil di dapurnya yang
mengakibatkan ovennya ikut hancur. Pada saat kejadian, mereka sempat didatangi dua orang
perwakilan dari perusahaan asuransi. Petugas ini meminta tetangga saya untuk menyimpan
semua bon makannya dan meng-klaim ke asuransi. Pihak asuransi akan menanggung biaya
makan berikut PPN-nya selama mereka menunggu perbaikan dapurnya selesai. Untuk beberapa
hari mereka pun terpaksa tinggal di hotel dan makan di luar.
Setelah renovasi selesai dan mereka bisa kembali ke rumah, tetangga saya berniat untuk
mengajukan klaim. Sebelum mengirimkan bon, mereka terlebih dulu menelpon adjuster/
penilai kerugian. Sang adjuster menjelaskan bahwa penggantian makanan hanya di-cover 50%
dan bukan 100%. Meskipun angka itu masuk akal buat tetangga saya, namun mereka tetap
mengingatkan akan janji dua perwakilan perusahaan yang akan menanggung biaya makan plus
pajaknya.
Dengan gaya sarkastik dan defensif, baik secara verbal maupun intonasi, si adjuster menukas,
_”Tidak mungkin. Tak seorang pun di perusahaan kami akan mengatakan pada Anda bahwa kami
menanggung 100% biaya makan, karena kebijakan kami adalah menanggung 50%. Lagi pula, jika
tidak terjadi kebakaran pun toch Anda akan tetap makan.” _
Mendengar itu, tetangga saya naik darah. Sekarang masalahnya bukan lagi tentang angka, tapi
soal prinsip. Mereka segera mengumpulkan semua fakta pendukung dan mempresentasikan
argumentasinya kepada kantor perusahaan dengan tenang, runut dan terstruktur. Disertai
bukti-bukti kuat, akhirnya mereka menang dan memperoleh 100% penggantian atas seluruh
biaya makan mereka.
Ini hikmah yang bisa kita petik dari kasus tadi: seandainya si adjuster merespon dengan
tepat saat menerima telpon dari tetangga saya, pihak asuransi akan dapat menyelesaikan
permasalahan ini dengan elegan. Cukup dengan permintaan maaf sederhana. Alih-alih demikian,
mereka justru kebobolan hampir $ 200 lebih banyak daripada yang seharusnya dibayarkan.
Belum lagi pemborosan waktu untuk mendengarkan dan melayani adu argumentasi tetangga
saya.
Kasus mahal semacam ini sering terjadi di seluruh sektor jasa, akibat dari karyawan yang tidak
tahu bagaimana berdiplomasi secara bijaksana dengan pelanggan yang sedang kesal. Mereka
mestinya berkomunikasi dengan cara-cara yang menyejukkan dan disertai niat baik.
Akan lebih elok jika si adjuster menanggapi dengan cara berikut,
_”Perlu Anda ketahui bahwa polis Anda hanya meng-cover 50% dari makanan Anda berikut
pajaknya. Jika tidak mengalami musibah kebakaran pun, bukankah Anda akan tetap
mengeluarkan biaya untuk makan? Nah, kami mencoba meminimalkan ketidaknyamanan Anda
selama kehilangan oven dengan menanggung biaya tersebut. Semoga ini cukup membantu
Anda, dan saya mohon maaf atas ketidaknyamanan yang disebabkan oleh kesalahpahaman ini.”
_
Pendekatan ini lebih halus dan elegan. Kans untuk tetangga saya dapat menerima kebijakan 50%
itu jauh lebih besar. Yang terjadi malah sebaliknya. Sikap adjuster yang dinilai “merendahkan”
tersebut justru membuat tetangga saya bertekad untuk tidak menerima apa pun selain
penggantian penuh 100%. Pendekatan yang salah terhadap pelanggan yang sudah marah hanya
akan membuat mereka lebih marah lagi. Risikonya pun jelas, perusahaan akan mengeluarkan
biaya yang jauh lebih besar.
Untuk menghadapi situasi seperti itu, saya ingin membagikan trik dalam merespon pelanggan
yang sedang kesal agar Anda terhindar mengeluarkan extra biaya dari yang seharusnya Anda
bayarkan.
5 pantangan menghadapi pelanggan yang sedang kesal.
- Jangan menyalahkan pelanggan.
Ingat, menyalahkan pelanggan dapat memicu pertengkaran yang ujung-ujungnya malah
merugikan Anda. Hindarilah melakukan hal itu.
- Jangan berdebat dengan pelanggan.
Anda tidak akan pernah bisa memenangkan perdebatan dengan pelanggan. Meskipun Anda
dapat membuktikan argumentasi bahwa Anda benar dan memegang keputusan akhir, tetapi
sejauh menyangkut perubahan pikiran pelanggan Anda, akan sia-sia.
- Jangan berbicara dengan nada berwibawa seolah-olah Anda harus membuktikan bahwa
pelanggan salah.
Bahkan ketika pelanggan salah pun, ini bukanlah respons yang tepat karena akan mendorong
pelanggan untuk terus mencari pembelaan.
- Jangan berkata, “Kami tidak akan pernah melakukan hal itu.”
Kalimat ini hanya akan menantang emosi pelanggan. Cobalah untuk mengatakan, “Silahkan
Bapak/Ibu ceritakan tentang hal itu.”
- Jangan takut untuk meminta maaf.
Ungkapkan permintaan maaf, meskipun pelanggan bersalah. Permintaan maaf bukanlah
pengakuan atas kesalahan. Ini diutarakan untuk mengungkapkan penyesalan. Misalnya, “Saya
mohon maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh kesalahpahaman ini.”
Dan jangan pernah lupa: dalam banyak kasus, masalahnya justru bukan pada masalah itu sendiri.
Cara mengatasi masalahlah yang menjadi masalah.
Sumber:
Channel Youtube RH Wiwoho
Link Youtube:
PELANGGAN EMOSI – JANGAN LAKUKAN 5 HAL INI
Maret 2022