IndoNLP

 

Steven Pinker dalam ‘The Stuff of Thought’ [2007] mengatakan bahwa pola pikir manusia pada dasarnya bersifat metaforis. Sesungguhnya metafora bukan hanya bagian dari prosa/puisi saja atau cuma sekedar penyedap dalam sebuah percakapan formal. Metafora telah tertanam begitu dalam dan sangat esensial untuk berbahasa serta mengungkapkan pemikiran. Sadar atau tidak, percakapan sehari-hari kita dipenuhi oleh metafora-metafora yang kadang jumlahnya bisa belasan setiap jamnya.

George Lakoff dan Mark Johnson dalam ‘Metaphors We Live By’ [1980] mengungkapkan bahwa metafora adalah cara memahami suatu gagasan dengan cara lain (understanding of one idea in terms of another). Misal, menggunakan ‘arah’ untuk memahami ‘kuantitas’. Contoh: Orang kaya di Jakarta jumlahnya membubung tinggi. Harga saham menukik turun dengan drastis, dst. Namun, metafora yang digunakan seseorang tidaklah acak. “They are grounded in our embodied experiencedthe reality of being a person living in a body, on a planet with gravity,” ujar mereka. Hal-hal itu melekat dalam tindakan, pengalaman dan realitas seseorang.

 

Bisnis ibarat Perang

Kalau metafora digunakan untuk memahami ‘kuantitas’ lewat pengertian ‘arah’ mungkin tidak ada efek negatifnya. Namun, apa yang terjadi bila metafora dipakai untuk memahami ‘bisnis’ lewat pengertian ‘perang’? Contohnya seperti kalimat-kalimat berikut:

Menjelang Natal toko-toko melakukan perang diskon;
Perusahaan itu sedang menyiapkan strategi baru dalam melakukan gerilya pemasaran;
Mereka membuat gugus tugas untuk menyerang pesaing di kota tersebut;
Misi pemimpin cabang di daerah itu adalah merebut kembali pelanggan yang beralih ke perusahaan lain;
Kedua perusahaan itu berkompetisi sampai titik darah penghabisan.

Daftarnya bisa diperpanjang dengan menambahkan kosa kata: membidik, target, operasi, rekrut, taktik dst yang kesemuanya itu adalah idiom dalam dunia peperangan.

Pola pikir perang (warfare mindset) sesungguhnya sudah lama sekali dipakai dalam dunia bisnis dan manajemen. Akarnya mungkin bisa dirunut mulai dari para jenderal besar seperti Sun Tsu dan Carl von Clausewitz, ke akademisi-akademisi seperti Al Ries dan Jack Trout [1985] dengan ‘Perang Pemasaran’nya, ke Gary Hamel dan C.K Prahalad [1996] dengan ‘Competing for the Future’nya sampai pada Henry Mintzberg [2002] dengan ‘Strategy Safari’nya. Analisa SWOT (Strengths, Weaknesses, Oportunities, and Threats), terutama pada poin-poin kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats) sejatinya adalah contoh-contoh dari pola pikir perang juga.

 

Menyatu dengan pengalaman

Karena ‘grounded in our embodied experienced’ yakni menyatu dengan pengalaman/tindakan kita sehari-hari, tidaklah mengherankan bila metafora ‘bisnis ibarat perang’ seperti contoh-contoh di atas mudah menggiring seseorang ke arah pola pikir kelangkaan (scarcity mindset) dan ancaman (threats). Dari sini sering timbul nafsu untuk menumpuk sumberdaya alam (kumpulkan sebanyak-banyaknya selagi Anda bisa) serta tindakan menyalahgunakan sumberdaya manusia (manfaatkan anak buahmu selagi masih sehat).

Meski strategi ini mungkin bagus untuk jangka pendek, namun di jangka panjang amat melelahkan dan menimbulkan dampak buruk buat planet bumi beserta isinya. Bila kita merencanakan sebuah strategi berdasarkan premis kelangkaan dan ancaman, maka kita cenderung mengadopsi model yang mendominasi dan menghadapi ‘musuh-musuh’ yang kita takuti atau tidak kita sukai lewat tindakan-tindakan agresif.

Model-model seperti ini beresiko melanggengkan pola pikir memecah belah dan mengendalikan, bertarung dan mengalahkan, serta menciptakan dunia yang pilihannya hanya satu: Menang atau mati. Mereka atau kita!

 

Dunia yang bersahabat

Tak bisa dipungkiri bahwa model-model seperti ini barangkali cocok diadopsi di masa lalu. Namun, di era global yang saling terhubung seperti sekarang ini, keefektifannya mulai dipertanyakan. Kini orang mulai menyadari bahwa ketika kita ‘menghajar’ apa yang kita sebut sebagai ‘musuh-musuh’ ini, seringkali dampaknya malah negatif secara keseluruhan sistem – di mana kita merupakan bagian dari sistem tersebut.

Nampaknya sekarang sudah tidak pas lagi membangun masa depan yang kita dambakan lewat metafora dan pola pikir peperangan. Lebih baik kita pikirkan model-model lain yang lebih damai, bersahabat, dan langgeng.

Dewasa ini timbul pemikiran yang orientasinya tidak lagi berperang, namun berkolaborasi. Timbul istilah-istilah yang lebih sejuk seperti: Inovasi, inspirasi, imajinasi, knowledge sharing, positive change, dreams, visi, tujuan(purpose), keberlangsungan (sustainability), kemakmuran (prosperity), nilai-nilai (values), dst.

Berbisnis dengan lebih teduh

Bahkan era sekarang, metafora ‘Peras santannya, buang ampasnya’ dalam memperlakukan karyawan sudah mulai disingkiri. Pebisnis modern kini lebih suka berpikir bagaimana mengembangkan dan meningkatkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki staf-stafnya agar bisa lebih tinggi lagi. Mereka percaya pada metafora ‘Sky is the limit’. Alih-alih mengobok-obok kelemahan orang yang selain tidak bermanfaat, juga cuma menggoreskan luka dan sering menimbulkan dendam, lebih baik mencari cara-cara untuk mengungkit (leverage) kelebihan, berkolaborasi dan menyediakan sarana-sarana yang memungkinkan hal ini terjadi. Pola manajemen ‘Command and Control’ sekarang sedang bertransformasi menjadi model ‘Coaching’ (baca buku saya: Double Benefit from Business Coaching: Good Company and Great Manager [2008]).

Untuk mengeksplorasi (meminjam metafora dalam dunia pertambangan) kelebihan-kelebihan karyawan Anda, coba simak delapan pertanyaan di bawah ini dan jawab dalam hati:

Apa hal terbaik yang terjadi pada diri Anda beberapa minggu terakhir ini?
Apa yang paling Anda sukai pada pekerjaan Anda?
Ceritakan pada saya ketika Anda berada di keadaan terbaik Anda.
Ceritakan pada saya tentang beberapa keberhasilan dalam hidup Anda.
Ceritakan pada saya tiga kekuatan terhebat Anda.
Apa yang paling menggembirakan tentang pekerjaan Anda?
Siapa yang menjadi panutan terpenting dalam hidup Anda? Secara profesional? Secara pribadi? Apa hal istimewa yang Anda pelajari dari orang itu?
Pada situasi bagaimana yang merupakan saat terbaik buat Anda untuk mempelajari sesuatu?

Sekarang tarik napas panjang. Bagaimana rasanya ketika Anda sendiri yang menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas? Dapatkah Anda bayangkan bila Anda mengajukan pertanyaan-pertanyaan di atas kepada para staf Anda? Akankah mereka lebih termotivasi? Lebih positive thinking? Lebih punya passion dalam bekerja? Lebih produktif? Lebih terjadi persahabatan diantara mereka? Dan lebih teduh suasana kantor Anda? Saya yakin Anda tahu jawabannya.

 

Sumber:
Bakul (buku) #3 dari serial buku Beras Kencur dengan judul Ketika Maju Salah Mundur pun Salah. Karya : R.H Wiwoho

 

 

 

March 2011