Artikel ini lanjutan dari bulan sebelumnya jika belum membaca klik disini
Simalakama #1: Perlakuan Ekstrim: Terlalu lembek, salah. Terlalu keras, salah.
- Ketika wanita bertindak dengan cara-cara yang konsisten atau sesuai dengan jendernya, mereka dianggap sebagai pemimpin yang tidak kompeten.
- Ketika wanita bertindak dengan cara-cara yang tidak konsisten dengan jendernya, mereka dianggap tidak feminin.
Simalakama #2: Tuntutan Tinggi
Para pemimpin wanita menghadapi standar yang lebih tinggi dan insentif yang lebih rendah ketimbang pemimpin laki-laki. Mereka dituntut:
- Secara terus menerus harus bisa membuktikan bahwa mereka mampu memimpin.
- Secara konstan harus bisa mengelola harapan-harapan jendernya.
Simalakama #3: Kompeten Tapi Tidak Disukai
Para pemimpin wanita cuma punya pilihan: dianggap kompeten atau tidak disukai, namun jarang keduanya bisa berbarengan. Ketika para pemimpin wanita bertindak dengan cara-cara yang secara tradisional melekat pada pemimpin laki-laki (ketegasan, misalnya), mereka dianggap kompeten, namun secara interpersonal dianggap tidak efektif dalam menjalankan fungsi-fungsi jendernya.
Solusi
Catalyst – sebuah lembaga swadaya masyarakat di AS yang melakukan studi tentang dilema kepemimpinan wanita – mengungkapkan bahwa perusahaan/organisasi perlu mengembangkan dan mendorong perubahan dengan lebih banyak mengambil keuntungan dari melebarnya wadah talenta pemimpin wanita.
Seyogyanya ini dibarengi dengan membebaskan lingkungan yang berdampak menghancurkan dari perlakuan stereotip jender. “Para wanita menghadapi dilema ikatan ganda dengan pribadi mereka,“ kata Lang dari Catalyst. “Jelas perlu adanya perubahan dengan mengubah norma-norma dan kultur untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja,” imbuhnya.
Lalu, apa solusinya? Menurut studi mereka, solusinya adalah dengan mempelajari bagaimana stereotip-stereotip ini berlangsung dan memperjelas tanggung jawab inidividu. Catalyst membeberkan langkah-langkah yang bisa digunakan untuk membongkar masalah dan mengurangi dampak stereotip jender di tempat kerja, antara lain yaitu:
- Memberi para pemimpin wanita dan karyawan-karyawan lain sebuah wahana dan sumberdaya untuk meningkatkan kesadaran akan keterampilan/kemampuan para pemimpin wanita dan akibat-akibat dari persepsi stereotip jender.
- Melakukan asesmen pada lingkungan kerja untuk mengidentifikasikan dalam hal apa saja wanita berisiko memperoleh bias jender.
- Menciptakan dan mengimplementasikan praktik-praktik di tempat kerja yang sasarannya adalah mengurangi bias stereotip. Praktik-praktik ini secara khusus akan efektif bila dikaitkan dengan area-area spesifik dari risiko, seperti misalnya dalam sistem dan prosedur manajemen kinerja organisasi.
Organisasi/perusahaan bisa menerapkan pengetahuan ini dengan pelbagai macam cara, misalkan:
- Pelatihan-pelatihan pada tingkat manajemen dan perluasan variasi pendidikan – mendidik para manajer berikut karyawan-karyawan intinya dan dampak-dampak dari bias jender, inkonsistensi antara nilai-nilai dan perilaku aktual serta sebab-sebab/efek-efek ketidaksetaraan jender di tempat kerja.
- Manajemen kinerja dan evaluasi – menerapkan kriteria serta evaluasi yang obyektif dan tidak ambigu (standar ganda misalnya).
***
Dilema kemimpinan wanita mirip dengan puisi KNOTS-nya RD Laing di atas.
Kalau di negara-negara maju saja – yang notabene kesetaraan jendernya relatif lebih baik – bermasalah, lalu bagaimana di negara kita tercinta ini?
Nampaknya pekerjaan rumah kita masih banyak.
Pembaca punya usulan?
Sumber :
Buku # 1 dari 3 buku terbaru RH Wiwoho yang terangkum dalam
Trilogi Pemimpin, Wanita dan Terapis.
Trilogi # 1 berjudul : Ketika Maju Salah Mundur pun Salah,
Trilogi # 2 : Terapi-terapi Kilat, dan
Trilogi # 3 : Sahabatku Bernama Takut.
Tersedia di toko buku terdekat.
September 2018