Salah satu contoh presupposition hebat lainnya adalah apa yang dilakukan oleh Salvador Minuchin. Minuchin sedang menangani pasien keluarga yang anaknya punya masalah agak unik. Ia seorang anak laki-laki berusia sepuluhan tahun dan agak pendiam. Pada sesi pertama terapinya, Minuchin diberitahu bahwa anak laki-laki ini punya kebiasaan menghisap/menciumi bau uap bensin. Tepat di hari pertama pertemuan, setelah orangtua anak itu membuka pembicaraan, Minuchin langsung berpaling ke arah si anak dan berkata, “Saya tahu kamu senang untuk menciumi uap bensin. Kamu pikir kamu ini apa, mobil?”
Komentar yang sifatnya canda ini punya dampak langsung. Setiap orang di ruangan itu menjadi sedikit rileks dan segera masalahnya menjadi lebih sedikit enteng.
Di sini Minuchin ingin menunjukkan dengan presupposition bahwa hal-hal yang serius pun bisa didekati melalui canda. Minuchin telah menyemai sebuah presupposition lewat kata “Kamu senang untuk”. Berbeda dengan, “Kamu menciumi,” atau “Kamu harus,” atau “Kamu merasa didorong untuk” yang tentu saja implikasi presupposition-nya sangat berbeda terhadap masalah tersebut. Pernyataan-pernyataan seperti ini mengandaikan (presuppose) bahwa perilakunya itu di luar kendali si anak dan oleh karenanya sulit untuk diubah. “Kamu senang untuk” mengandaikan bahwa perilakunya itu adalah hasil dari KEINGINAN si anak sendiri, bukan dorongan gila yang tidak bisa dia mengerti.
Pernyataan berikutnya dari Minuchin lebih menyengat, “Mana yang lebih kamu sukai: premium atau super?”
Lagi-lagi pernyataan ini membuat keluarga anak ini jauh lebih rileks sekaligus mengubah fokus mereka. Kalau sebelumnya mereka berpikir bahwa perilaku si anak adalah hal serius yang di luar kendali siapa pun, kini mereka sadar bahwa perilakunya semata-mata adalah ekspresi kesukaan dari si anak. Akibat yang ditimbulkan dari menciumi uap bensin tentu saja sangat serius. Namun, memfokus ulang si keluarga dengan cara seperti ini membuat masalahnya menjadi sedikit lebih mudah untuk ditangani.
Tak berapa lama kemudian Minuchin mendekatkan hidungnya, membaui aroma, menyeruput teh herbal dari cangkir yang dipegangnya dan mengatakan, “Saya penasaran jenis teh apa ini?”
Ia berpaling pada si anak, menawari teh miliknya dan berkata, “Karena kamu punya hidung yang sangat terlatih, katakan padaku jenis teh apa ini.”
Minuchin mengandaikan (presupposed) bahwa anak ini “punya hidung yang terlatih,” dan mampu membeda-bedakan bau, di mana Minuchin sendiri tak mampu melakukannya. Ini membuat si anak menjadi lebih superior dibanding Minuchin dalam hal bau dan mengubah hirarkhi implisit superioritas si terapis serta pandangan merendahkan dari si keluarga.
Ketika keluarga anak tersebut untuk pertama kalinya masuk ke dalam ruang terapi, mereka mungkin beranggapan bahwa perilaku anaknya adalah hal edan, tidak bisa dimengerti dan tidak bisa dikendalikan. Lewat tiga komentar pendeknya Minuchin telah mengubah persepsi keluarga. Kini, mereka menganggap perilaku tersebut sebagai sebuah ekspresi kesukaan si anak yang mampu mendemonstrasikan kemampuan positifnya dalam membedakan pelbagai macam bau. Dan, “masalah yang tidak bisa dikendalikan” ini telah tiga langkah mendekati solusinya, sebab anggota keluarga tersebut sekarang memikirkannya secara berbeda. Alih-alih melemparkan kritik, menegur atau melakukan interogasi kepada si anak, Minuchin secara tersirat justru memuji keterampilannya dalam membedakan bau. Hal ini menjadi landasan positif dalam membimbing si anak untuk memanfaatkan keterampilannya ini pada hal-hal lain, ketimbang hanya menciumi bau bensin.
Di akhir sesi, Minuchin memperoleh informasi sangat berharga dan menjadi kunci terapi kilatnya. Ternyata, selama ini si anak dituntut “berperan sebagai orangtua” dengan tanggung jawab besar untuk merawat kedua adik kembarnya yang masing-masing berusia 4 tahun. Minuchin mengorganisasikan kembali keluarga tersebut, di mana seorang bocah berusia sepuluh tahun sesungguhnya harus hidup dengan dunia anak-anaknya, bebas dari segala tanggung jawab sebagai orangtua yang mestinya masih dipikul oleh kedua orangtuanya.
Membantu orangtua tentu saja menjadi kewajiban buat seorang anak, di samping belajar untuk bertanggung jawab. Tapi, seorang anak berusia sepuluh tahun harus menggantikan posisi psikologis serta sosial orangtuanya sekaligus menjadi pembimbing moral bagi adik-adiknya, menurut saya ini beban yang terlalu berlebihan.
Menurut Anda bagaimana?
Sumber :
Buku # 2 dari 3 buku terbaru RH Wiwoho yang terangkum dalam
Trilogi Pemimpin, Wanita dan Terapis.
Trilogi # 1 berjudul : Ketika Maju Salah Mundur pun Salah,
Trilogi # 2 : Terapi-terapi Kilat, dan
Trilogi # 3 : Sahabatku Bernama Takut.
Tersedia di toko buku terdekat.
Desember 2013