Artikel ini lanjutan dari bulan sebelumnya jika belum membaca klik disini
Kisah kedua,
Ada seorang pasien yang mengaku bahwa dirinya adalah Yesus Kristus. Dia sangat paranoid tetapi tidak berbahaya, berpakaian kertas, berjalan berputar-putar sambil berkomunikasi dengan Tuhan…. sesungguhnya dia sangat sopan dan bersahaja. Saya diminta untuk melakukan sesuatu padanya. Saya katakan padanya bahwa para dokter ingin sekali bermain tenis pada jam istirahat. Mereka ingin menggunakan otot, keterampilan serta kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepada mereka. Saya katakan juga bahwa betapa pentingnya menjaga lapangan tenis agar tetap dalam keadaan baik…. (sementara lapangan tenis di situ kotor). Kami pun berjalan menuju lapangan tenis. Kami banyak mengomentari pepohonan yang Tuhan ciptakan, rumput yang indah serta tentang penciptaan bumi. Saya perhatikan ada beberapa bagian lapangan yang kasar dan kotor. Lalu saya katakan padanya bahwa saya yakin Tuhan tidak menghendaki bagian-bagian yang kasar dan tidak rata itu ada, dan bertanya padanya apakah dia dapat membuat lapangan tenis itu rata kembali. Dia menjawab bahwa dia tentu akan MENCOBA karena dia hadir memang untuk melayani umat manusia. Maka saya tinggalkanlah dia. Dia pun menjadi perawat lapangan tenis yang sangat baik. Ketika Laboratorium Psikologi membutuhkan beberapa rak buku, saya katakan padanya bahwa Yesus adalah seorang tukang kayu. Maka dia membuatkan rak-rak buku itu. Dia menjadi pengrajin di Laboratorium Psikologi.
Pada kisah pertama, Erickson tidak langsung berusaha berbagi senyum atau melambaikan tangan pada anak kecil tersebut. Dia terlebih dulu melakukan pemahaman (pacing) dengan model dunia si bayi (bermain cilukba). Setelah timbul keakraban (rapport) si anak merasa percaya untuk bermain. Karenanya, dia melambaikan tangan ketika pulang, sebagai tanda bahwa dia merasa senang dan berterima kasih karena dipahami oleh Erickson.
Jalan cerita pada kisah kedua agak mirip. Erickson bukannya berusaha mengubah keyakinan kliennya secara langsung, tapi menunjukkan kepada klien bahwa dia memahami dan menerima model dunia si pasien melalui isi/konten komunikasinya. Dengan cara ini Erickson memelihara kepercayaan (trust) kliennya bahwa dia adalah seseorang yang memahami dan oleh karenanya dapat dipercaya. Erickson menunjukkan pada pasiennya bahwa dia menerima dan memahami model dunia si pasien – bahwa si pasien adalah Yesus – dengan berbicara tentang Tuhan dan karya-Nya, peran si pasien sebagai Yesus, serta pekerjaan si pasien yang dikenal sebagai tukang kayu. KEMUDIAN Erickson memanfaatkan implikasi model dunia tersebut (yaitu, bahwa orang tersebut adalah pelayan umat manusia dan seorang tukang kayu) sebagai landasan untuk mengubah perilakunya. Tak berselang lama, pasien tersebut akhirnya meninggalkan rumah sakit, kembali ke masyarakat dan mampu berinteraksi secara normal dengan lingkungannya.
Sumber :
Buku # 2 dari 3 buku terbaru RH Wiwoho yang terangkum dalam
Trilogi Pemimpin, Wanita dan Terapis.
Trilogi # 1 berjudul : Ketika Maju Salah Mundur pun Salah,
Trilogi # 2 : Terapi-terapi Kilat, dan
Trilogi # 3 : Sahabatku Bernama Takut.
Tersedia di toko buku terdekat.
November, 2017