Artikel ini adalah lanjutan dari sebelumnya, jika belum membaca klik disini
Jebakan Kesuksesan
Menurut Marshall Goldsmith dalam The Success Delusion ada tiga keyakinan yang membantu seseorang menjadi sukses dan masing-masing akan membuat orang itu menjadi lebih tangguh dalam mencapai kesuksesan berikutnya. Namun ketiga keyakinan tersebut bisa juga menjadi jebakan bila tidak bijak dalam menyiasatinya. Inilah ketiga keyakinan tersebut.
Jebakan Masa Lalu
1. Saya Sukses (I Have Succeeded).
Orang-orang yang sukses yakin pada bakat serta kemampuannya. Mereka punya mantra, “Saya sukses dan telah membuktikan bahwa saya memang sukses.” Keyakinan kuat kesuksesan di masa lalu ini memberi keyakinan lebih untuk berani mengambil risiko di masa datang.
Kalau Anda menganggap bahwa jebakan ini tidak berlaku untuk Anda, periksalah diri Anda dengan jujur. Mengapa Anda bangun di pagi hari dengan percaya diri (PD) dan pergi bekerja dengan rasa optimistis, gairah dan keinginan untuk bersaing? Pasti hal ini bukan karena Anda ingat akan kegagalan-kegagalan Anda di masa lalu, kan? Ini karena Anda menghapus kenangan kegagalan Anda dan fokus pada kesuksesan-kesuksesan Anda bukan? Misalnya, bagaimana dulu Anda pernah menjadi yang terbaik, pernah menjadi idola, bos sering memberi acungan jempol, klien memuji-muji Anda, dan seterusnya.
Mengingat kembali akan hal-hal itulah (kadang diiringi senyum) yang membuat Anda bangun di pagi hari dengan penuh motivasi untuk segera pergi bekerja.
Keyakinan “Saya terbukti sukses”, meski positif, bisa menjadi hambatan serius ketika perubahan perilaku dibutuhkan. Orang yang sukses kadang merasa dirinya di atas rata-rata dibandingkan dengan kolega-koleganya. Tanyakan pada tiga manajer Anda, berapa persen kontribusi mereka pada perusahaan. Anda akan tercengang mendengar jawabannya, karena masing-masing mungkin mengklaim berkontribusi 70 persen. Kalau ditotal jumlahnya menjadi 210%, angka yang tidak mungkin karena melebihi 100%.
Saya sering bertanya kepada para peserta program saya (terutama yang dikirim oleh perusahaan karena prestasinya), kira-kira berada di kelompok mana diri mereka dibandingkan dengan kawan-kawan sekantornya. Hampir sembilan puluh persen menganggap dirinya berada di kisaran sepuluh terbaik dan tujuh puluh persen menganggap dirinya lima terbaik dari seluruh karyawan.
Bayangkan, betapa sulitnya meyakinkan orang-orang ini bahwa apa yang mereka lakukan dulu itu keliru dan perlu diubah.
Jebakan Masa Kini
2) Saya Bisa Sukses (I Can Succeed).
Orang sukses yakin bahwa ia mampu mempengaruhi dunia dan mengubah sesuatu menjadi kenyataan. Orang-orang seperti ini yakin bahwa bakat, sikap dan kecerdasannya bisa mengubah keadaan sesuai dengan keinginannya.
Mereka spontan mengangkat tangan bila bos meminta tenaga sukarela untuk menjadi coach, sementara teman-teman lainnya mungkin malah menundukkan kepala dan berharap bos tidak mengamatinya, persis seperti kura-kura.
Inilah “keyakinan inti” individu yang sukses. Orang yang yakin bisa sukses melihat kesempatan, sementara orang lain menganggapnya ancaman. Mereka tidak takut pada ketidakpastian, malah mungkin menantangnya. Berani mengambil risiko besar dalam upaya untuk memperoleh imbalan yang lebih besar. Jika diberi pilihan, mereka akan mempertaruhkan dirinya.
Orang-orang sukses punya kendali “internal” yang cukup tinggi. Artinya, mereka tidak merasa seperti korban dari nasib. Mereka melihat sukses sebagai dampak ikutan dari motivasi serta kemampuan mereka sendiri – bukan nasib baik, kesempatan acak, atau cuma keberuntungan semata. Mereka menggenggam keyakinan ini, bahkan ketika nampaknya keberuntungan memainkan peran yang signifikan dalam suksesnya.
Keyakinan semacam ini maya, meski memberi kekuatan. “Keyakinan seperti ini tentu saja lebih baik dibanding tidak ada samasekali,” kata Goldsmith. Sebaliknya adalah pelanggan kupon judi atau lotere. Para penjudi yakin bahwa setiap kesuksesan adalah dampak dari nasib baik, kesempatan acak atau faktor eksternal. Ini terbalik dengan keyakinan orang-orang sukses. Itulah sebabnya mengapa Anda jarang sekali melihat miliarder membeli kupon lotere. Para penjudi melihat lotere sebagai kesuksesan acak. Semakin banyak lotere yang dibeli, semakin besar peluang keberuntungannya, begitu pikir mereka. Beberapa riset menunjukkan bahwa pribadi yang memiliki keyakinan semacam ini cenderung tidak berprestasi tinggi. Bukan termasuk kelompok pekerja dengan penghasilan yang tinggi.
Menurut Goldsmith, orang yang menang lotere sering tidak menginvestasikan uang hasil kemenangannya dengan baik. Keberanian mereka malah menguat dan membeli lebih banyak kupon ketika menang lotere. Mereka membuat keputusan investasi yang tidak rasional, mengharapkan lagi keberuntungan itu, tidak percaya bahwa keahlian dan kecerdasanlah yang akan membuat mereka lebih kaya. Itulah sebabnya orang-orang seperti ini terjebak pada rencana yang setengah-setengah. Tidak memiliki keyakinan inti bahwa mereka bisa sukses dengan upaya sendiri, bukan keberuntungan semata.
Orang-orang sukses berseberangan dengan orang-orang yang “bermentalitas lotere” di atas. Itu adalah kekuatan, sekaligus kelemahan. Kelemahannya: kadang hal ini malah justru mendatangkan hambatan dalam membantunya mengubah perilakunya. Ketika seseorang yakin bahwa keberuntungannya adalah dampak langsung dari perilaku atau aksinya, maka yang bersangkutan dengan mudah membuat asumsi yang keliru seperti: “Saya orang yang sukses. Saya berperilaku seperti ini. Oleh sebab itu, sukses saya pastilah karena saya berperilaku seperti ini.” Ini benar-benar menjadi hambatan serius untuk membantu menyadarkan pemimpin yang sukses, bahwa kesuksesan mereka bukan disebabkan oleh perilaku mereka semata.
………Artkel ini bersambung di bulan September 2017
Sumber :
Buku # 3 dari 3 buku terbaru RH Wiwoho yang terangkum dalam
Trilogi Pemimpin, Wanita dan Terapis.
Trilogi # 1 berjudul : Ketika Maju Salah Mundur pun Salah,
Trilogi # 2 : Terapi-terapi Kilat, dan
Trilogi # 3 : Sahabatku Bernama Takut.
Tersedia di toko buku terdekat.
Agustus 2017