IndoNLP

 

Artikel ini adalah lanjutan dari sebelumnya, jika belum membaca klik disini

 

Si NLPer di atas memasuki model dunia si bocah, dan faham bahwa tidak mungkin mengubah perilakunya kalau memang dia tidak mau mengubahnya.

Orang, termasuk juga bocah, biasanya baru mau berubah apabila perubahan itu menyenangkan dirinya (gain pleasure) atau setidaknya membuat dirinya terhindar dari sesuatu yang menyakitkan (avoid pain).

Kisah di atas mengingatkan saya pada Milton Erickson, bagaimana ia melakukan pacing perilaku pada pasiennya, seorang bocah perempuan. Ceritanya, seorang bocah penderita autis yang telah dirawat berbulan-bulan dikirim kepadanya. Bocah ini telah ditangani oleh banyak dokter di RSUD Arizona dan orangtuanya telah menghabiskan US$ 50.000 lebih, tanpa ada perubahan samasekali.

Kebetulan pasien Erickson, seorang pekerja sosial yang senang membantu anak-anak yang bermasalah, pergi mengunjunginya. Melihat bocah perempuan berusia sepuluh tahun itu, ia membujuk pihak rumah sakit untuk mengijinkan bocah perempuan tersebut pergi jalan-jalan dengannya.

Akhirnya bocah itu pergi dengannya, dan selama perjalanan dia menyeringai, merajuk, mengeluarkan suara-suara aneh dari mulutnya, berputar-putar dan bertingkah dengan sangat menarik perhatian. Si pekerja sosial ini memutuskan membawanya menemui Erickson. Setelah menerangkan sejenak persoalan bocah kecil ini, Erickson menyanggupi untuk menemuinya sekali saja, namun tidak bersedia menerimanya sebagai pasien.

Bocah kecil itu masuk. Erickson menyambutnya. Bocah itu mengeluarkan suara-suara aneh dan Erickson MEMBALAS dengan suara-suara aneh pula. Mereka menyeringai, menggeram, bercicit dan berteriak bersahut-sahutan selama hampir setengah jam. Kemudian bocah itu menjawab beberapa pertanyaan sederhana dan pelan-pelan kembali pada perilaku autisnya. Mereka berdua bersenang-senang, bercicit, berteriak, menyeringai dan menggeram satu sama lain.

Tak lama kemudian si pekerja sosial membawa kembali bocah itu ke rumah sakit.

Malam harinya, bocah itu meminta si pekerja sosial untuk membawanya pergi jalan-jalan lagi. Dia menarik-narik tangannya sampai luka dan memaksa si pekerja sosial untuk menemui Erickson lagi (satu-satunya orang yang benar-benar bisa “bicara” dan mengerti bahasanya).

Apa yang dilakukan Erickson adalah melakukan pacing pada perilaku makro bocah autis tadi, yakni: bercicit dan berteriak. Alih-alih bercakap-cakap secara normal dengannya dan mencoba membuatnya berbicara dengan cara normal pula, Erickson malah lebih memilih menyesuaikan perilakunya agar serasi dengan cicitan dan teriakan si bocah. Mungkin untuk pertama kalinya bocah ini punya kesempatan untuk berkomunikasi dengan seseorang yang juga menggunakan bahasanya, seseorang yang memahaminya. Lebih jauh, Erickson “bersenang-senang” saat bercicit dan berteriak dengan bocah itu, sebagai indikasi keselarasan (mirroring) perilaku Erickson. Bila peniruan Erickson terhadap teriakan bocah itu berlebihan, pura-pura dan berupa cemoohan, tentunya akan merusak kedekatan hubungan (rapport). Keinginan dan kemampuan Erickson untuk mengubah perilakunya SENDIRI agar serasi itulah yang memungkinkan dirinya memiliki pengaruh yang dia berikan kepada si bocah.

“Anda BERHUBUNGAN dengan orang lain pada tingkatan mereka, seperti misalnya, Anda tidak membahas perkiara filosofis ketika bersama seorang bayi yang baru belajar bicara… Anda membuat SUARA-SUARA sesuai dengan suara si bayi, sesuai dengan pengertian si bayi…” ujar Erickson.

Saya kira Erickson benar. Kita harus memahami dunia mitra bicara kita, sebelum kita dipahami olehnya.

Dunia bocah harus dipahami dengan dunia bocah.

***

 

Sumber :
Buku # 3 dari 3 buku terbaru RH Wiwoho yang terangkum dalam
Trilogi Pemimpin, Wanita dan Terapis.

Trilogi # 1 berjudul : Ketika Maju Salah Mundur pun Salah,
Trilogi # 2 : Terapi-terapi Kilat, dan
Trilogi # 3 : Sahabatku Bernama Takut.
Tersedia di toko buku terdekat.

 

 

 

 

 

Maret 2014